Bersinarlah Bulan Purnama

Bersinarlah bulan purnama, seindah serta tulus cintanya. Cuplikan lirik lagu “Andaikan Kau Datang Kembali” dari band Koes Plus ini tentu sudah sering kita nikmati. Lirik yang terkesan sederhana tetapi memiliki makna yang sangat berarti. Lirik yang mengutarakan kerinduan dari dalam hati. Kerinduan untuk bertemu seorang terkasih yang dinanti. Penantian yang bukan hanya dalam hitungan hari tetapi lebih dari sasi. Seseorang yang sejatinya selalu hadir dan tidak pernah pergi. Hadir dalam prasasti dan imajinasi semua orang yang membuka hati. Hati yang suci oleh pantulan nur Illahi.

Diri ini selalu mengevaluasi. Apakah pantas bersua Ya Sayyidi. Ketidakpercayaan diri yang menyertai karena hati yang frustasi. Akibat kekeliruan yang selalu dilakukan berulang-ulang kali. Teriring penyesalan dan taubat yang berkali-kali dikhianati, masih pantaskah diri ini menanti.

Ketidaktahuan diri nekat menembus jeruji besi. Berlari dengan tenaga tiada arti. Seolah tidak peduli dengan apapun nanti. Cinta ini membuat segalanya terjadi. Mencari cahaya untuk menerangi gelapnya hati. Demi visi menjadi pribadi yang berarti dan syafaat di keesokan hari.

12 Rabi’ul Awal 1445H, pukul 00.07 WIB

Standar

Makna Ibadah

Oleh: Arya Srisadono

Kita sekarang berada di bulan Ramadhan. Bulan suci yang penuh hikmah. Bulan ini banyak kita isi dengan ibadah. Dari puasa di siang hari dan sholat tarawih di malam hari. Selain itu banyak ibadah sunah lain yang sudah lazim kita lakukan seperti tadarus Al Quran, sholat qiyamul lail, shodaqoh, zakat, itikaf dan ibadah-ibadah lainnya terutama menjelang 10 hari terakhir Ramadhan. Dari sekian ibadah yang seolah sudah menjadi rutinitas itu, pernahkan kita mempertanyakannya. Mengapa kita melakukan berbagai ibadah itu.

Dalil tentang puasa Ramadhan disebutkan salah satunya dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

183. Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Dari ayat diatas kewajiban berpuasa untuk menjadikan mukmin bertakwa. Kata takwa perlu kita garis bawahi karena inilah tujuan Allah SWT memerintahkan kita berpuasa. Definisi takwa bersifat terbuka dan dinamis. Banyak ulama mengeluarkan definisi takwa yang beragam. Kita boleh saja merumuskan sendiri definisi takwa yang tentu tidak boleh menyimpang dari makna bahasanya dan bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Dari segi bahasa Arab takwa berasal dari kata ittaqa – yattaqi – ittiqa’an wa taqwa artinya berhati-hati, menjaga, menghindari, dan menjauhi. Ketika Sayidina Umar bin Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. Ubay bin Ka’ab balik bertanya: “Apakah yang anda lakukan ketika berjalan di hutan?” Sayidina Umar menjawab “Saya harus ekstra hati-hati, awas, dan waspada agar tidak terkena duri”. “Itulah takwa” kata Ubay.

Takwa berarti sikap berhati-hati dan waspada. Berhati-hati dan waspada terhadap bahaya yang membuat kita tidak disayang dan diridhai Allah atau dimarahi dan dimurkai Allah. Sayang dan ridha Allah akan membawa kita ke surga sedangkan marah dan murka-Nya akan membawa kita ke neraka.

Puasa dan tentu saja ibadah lainnya merupakan metode untuk melatih kita menjadi orang yang bertakwa. Ibadah bukan tujuan melainkan proses untuk bertransformasi. Sehingga, output dari ibadah adalah untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.

Standar

Kuliner di Food Court Mal Moro Purwokerto

Ketika anda sedang di Purwokerto dan mencari tempat makan yang nyaman dan enak, food court di Mal Moro dapat dijadikan pilihan. Tempat ini saya rekomendasikan karena beberapa alasan antara lain kemudahan akses, parkir mal yang luas, tempat yang nyaman, dan makanan yang enak dan variatif dengan harga yang wajar.

Semenjak adanya Rita Super Mall di Purwokerto, Moro menjadi tidak seramai dulu. Walaupun begitu, mal ini masih memiliki daya tarik, yaitu supermarket di lantai 1 yang lengkap dan relatif murah serta food court di lantai 4. Ketika anda masuk ke food court, anda akan bertemu dengan kasir deposit. Sistem transaksi di tempat ini memakai kartu yang sebelumnya sudah diisi dengan nominal uang.

Terdapat berbagai gerai makanan yang dapat anda pilih seperti bebek goreng, ayam goreng, soto, siomay, mi goreng dll. Selain itu terdapat juga gerai minuman seperti es teh, es krim dsb. Lumayan lengkap dan bervariasi menurut saya. Yang saya senang dengan food court ini adalah disediakannya smooking area. Baguslah buat saya yang tidak merokok dan tidak suka menjadi perokok pasif.

Saya sudah beberapa kali kesini, terakhir beberapa hari sebelum tulisan ini dibuat. Saya agak kaget ketika melihat gerai-gerai makanan yang masih eksis. Mengingat mal ini sudah lumayan sepi. Walaupun 2-3 gerai tutup, tetapi mayoritas masih buka seperti sebelum pandemi Covid 19. Ketika masuk jam makan siang, ternyata banyak juga yang makan disini. Memang untuk di Purwokerto tempat makan ini menjadi salah satu yang ternyaman. Tidak heran bila pengunjungnya masih tetap banyak di jam-jam makan.

Makanan favorit saya disini adalah Bebek Goreng Haji Slamet yang cabangnya sudah banyak itu, ditemani dengan jasmine tea Tong Tji. Menurut saya, dibanding Cabang Bebek Goreng Haji Slamet yang lain di Purwokerto, disini lebih enak. Dagingnya lebih empuk dan lebih gurih. Untuk makanan yang lain menurut saya rasanya standar, tapi tetap layak jual dan tidak mengecewakan. Kemudahan akses dan tempat makan yang nyaman menjadi nilai lebih dari food court ini. Metode pembayaran yang memakai kartu deposit membuat saya pribadi lebih nyaman dan praktis. Jadi kalau anda mampir di Purwokerto dan mencari makanan yang cepat dan praktis, saya rekomendasikan untuk makan di sini.

Penilaian: Food Court Mal Moro Purwokerto

Kategori: Rumah Makan

Nilai: Bintang Tiga

Peringkat: 3 dari 5.
Standar

MTB XC, Sepeda Pilihan Untuk Pemula

Oleh: Arya Srisadono

Satu bulan terakhir, di masa pandemi COVID 19 ini, jumlah pengguna sepeda meningkat pesat. Banyak yang membeli sepeda baru demi mengikuti trend bersepeda ini. Tiga kategori sepeda yang umum digunakan antara lain mountain bike (MTB), road bike, dan sepeda lipat (seli). Dari masing-masing kategori masih memiliki varian terutama untuk jenis MTB dan road bike. Dari berbagai macam sepeda itu mungkin membuat calon pesepeda bingung memilih sepeda pertamanya. Dari pada bingung, ada juga yang memilih sepeda sesuai dengan trend yang berkembang di lingkungannya alias ikut-ikutan. Karena teman-teman kantornya naik seli, ikut-ikutan beli seli. Ada juga yang ingin terlihat keren karena melihat kumpulan road bike dijalanan dan ikut-ikutan beli road bike, dsb. Dari pada hanya ikut-ikutan dan belum tentu jenis sepedanya cocok, ada satu jenis sepeda yang saya rekomendasikan sebagai sepeda pertama anda yaitu jenis mountain bike cross country (MTB XC). Mengapa MTB XC? Mari kita bahas alasan-alasannya.

1. Harga terjangkau

MTB XC memiliki harga yang terjangkau, dengan budget < 5 juta sudah dapat membeli MTB XC dengan spesifikasi yang cukup baik. Dibandingkan dengan road bike yang harga entry level-nya saja sudah lebih dari 5 juta. Dengan budget 5 juta, sisa pembelian sepeda bisa digunakan untuk tambahan membeli asesoris penting seperti helm, celana padding, sarung tangan, manset tangan, dsb. Budget asesoris sepeda ini sering dilupakan karena hanya fokus pada harga sepedanya.

2. Sepeda basic

MTB XC menurut saya merupakan sepeda basic. MTB XC hanya memiliki suspensi depan dan tanpa suspensi belakang (hardtail) sehingga bisa digunakan di jalan raya, tanah, jalanan rusak dsb. Sifatnya yang all around menjadikannya cocok untuk newbie. Sepeda ini juga akan menyeleksi anda, apakah anda memang benar-benar passion terhadap olahraga bersepeda. Olahraga penting untuk kita tetapi belum tentu bersepeda cocok untuk anda. Kalau anda memang benar-benar menemukan passion anda di sepeda, dengan memakai MTB XC ini, anda akan meng-upgrade sepeda ini kearah yang anda inginkan. Anda seolah “dipaksa” untuk belajar lebih dalam tentang sepeda. Apabila anda lebih suka dengan rute jalan raya, anda otomatis akan melakukan upgrade parts sepeda supaya nyaman untuk berkendara di jalan raya. Demikian juga bila anda menyukai track lainnya seperti pegunungan, jalan bergelombang, dsb., otomatis anda akan menyesuaikan sepeda anda sesuai kebutuhan. Namun bila setelah bersepeda beberapa bulan, anda tidak ada hasrat untuk upgrade dan tidak jelas tentang track apa yang anda suka, saran saya beralihlah ke olahraga lain.

3. Membantu untuk memilih sepeda kedua

Menjadikan MTB XC sebagai sepeda pertama akan membantu anda untuk lebih banyak belajar tentang sepeda dan menemukan spesifikasi anda dalam bersepeda. Anda akan diarahkan lebih ke tipe road atau mountain bike. MTB XC bisa di upgrade sampai pada titik dimana sepeda ini sudah tidak memenuhi kebutuhan anda dalam bersepeda. Pada titik inilah saatnya anda membeli sepeda yang kedua. Hasil dari bersepeda dengan MTB XC akan memudahkan anda dalam memilih sepeda kedua. Apabila budget memadai, anda bisa saja membeli seri flagship dari brand sepeda terkenal. Tentu saja ini sebuah investasi jangka panjang karena anda tidak akan mengganti sepeda anda dalam 5 tahun kedepan bahkan lebih. Sepeda kedua yang dipilih akan sangat memuaskan karena sangat sesuai dengan passion anda.

Kecenderungan bersepeda yang meningkat saat ini tentu membawa impact positif juga negatif. Kenaikan permintaan sepeda membuat harga sepeda dan onderdil naik. Belum lagi attitude oknum pesepeda yang kurang menghargai pengguna jalan yang lain. Fenomena bersepeda ini akan terbukti positif apabila karakter penggunanya mengerucut ke dua kategori yaitu enthusiast dan fungsional. Enthusiast berarti pesepeda akan cenderung ke road bike atau mountain bike dengan hasrat belajar dan upgrade yang tinggi. Sedangkan fungsional berarti menggunakan sepeda untuk sarana transportasi seperti bike to work dsb. Apabila itu terjadi, tentu sangat menyenangkan dimana polusi udara akan berkurang dan transportasi masal di berbagai daerah akan berkembang. Jika tidak, tentu ini hanya seperti fenomena trend sebelumnya yang akan hilang tahun depan. Kita tunggu saja.

Standar

Bagaimana Herbal Dapat Menjadi Obat?

Oleh: Arya Srisadono

Masyarakat sering mendikotomikan obat menjadi obat medis dan obat herbal. Obat medis sering diartikan sebagai obat yang bersumber dari bahan kimia, sedangkan obat herbal dibuat dari tanaman herbal di alam. Pemahaman ini memang ada benarnya, bila kita hanya melihat dari bahan baku pembuatan obat semata. Tapi menjadi masalah apabila kita kemudian menyimpulkan bahwa obat medis banyak efek sampingnya karena bersumber dari zat kimia sintetik, sedangkan obat herbal tidak ada efek samping karena alami. Ini adalah kesimpulan yang tidak tepat. Mengapa? Mari kita membahasnya pelan-pelan.

Semua obat yang digunakan oleh dokter semua bersumber dari alam. Ya pasti, kita memang tinggal di alam dunia, tidak mungkin berasal dari akhirat. “Tapi, obat-obat medis kan dibuat dari bahan kimia tidak diambil langsung dari alam?” Memang iya, tapi tetap saja asal muasalnya dari alam. Obat-obat medis sebelum bisa digunakan untuk pengobatan mengalami proses uji praklinis dan klinis yang sangat panjang. Pertama kali sebelum dilakukan pengujian, bahan baku yang akan dijadikan obat diambil langsung dari alam, seperti dari tanaman.

Tanaman yang diindikasikan memiliki khasiat pengobatan, yang sering kita sebut tanaman herbal, diambil sample-nya untuk dilakukan berbagai pengujian. Pengujian secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu uji praklinis dan klinis. Perbedaannya, uji praklinis dilakukan pada hewan, sedangkan uji klinis dilakukan pada manusia. Pertama kali, tanaman herbal yang sudah diekstraksi diuji coba pada hewan untuk menilai keamanannya. Apabila lulus uji keamanan ini tanaman herbal berubah nama menjadi jamu. Setelah lulus uji keamanan, dilakukan uji khasiat pada hewan. Di dalam penelitian ini kita dapat melihat apakah tanaman herbal itu memiliki khasiat spesifik pada hewan, misalnya khasiat antikanker, antipiretik, antiinflamasi dll. Apabila memang terbukti berkhasiat, tanaman herbal ini naik tingkat menjadi obat herbal terstandar. Sampai disini pengujian pada hewan selesai, kemudian dilanjutkan pengujian terhadap manusia.

Tanaman herbal dalam status obat herbal terstandar bahkan jamu sudah diperbolehkan untuk diedarkan di masyarakat setelah mendapatkan sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Yang perlu diingat disini, tanaman herbal sudah diolah dalam bentuk yang siap konsumsi seperti tablet, puyer, sirup dsb. Semua obat juga harus memiliki dosis yang terukur baik miligram atau mililiter. Jadi tidak ada obat herbal yang disediakan dalam bentuk yang belum diolah dan tidak jelas ukuran dosisnya, misalnya dalam bentuk daun, batang, buah kering dsb. Masih dalam tahap uji praklinis saja obat herbal harus memiliki standar dosis dan Bentuk Sediaan Obat (BSO) apalagi untuk maju ke uji klinis, BSO dan dosis obat akan dilakukan penelititan yang lebih detail lagi.

Pengujian pada manusia atau uji klinis, dilakukan setelah tanaman herbal sudah melalui uji keamanan dan uji khasiat (uji praklinis). Seperti yang telah dijelaskan, obat herbal yang telah memiliki sertifikat uji praklinis sudah memiliki standar BSO dan dosis. Dosis yang didapatkan dalam uji praklinis akan dikonversi ke dosis untuk manusia dan diujicobakan. Dalam tahap uji klinis ini akan dibuktikan apakah obat herbal benar-benar memiliki khasiat yang diharapkan atau tidak. Apabila obat herbal itu dalam uji klinis memang terbukti berkhasiat maka obat herbal itu sudah naik kelas menjadi fitofarmaka. Fitofarmaka inilah standar minimal untuk dapat digunakan sebagai obat di dunia medis. Saya mengatakan “standar minimal”, karena masih ada penelitian-penelitian lanjutannya.

Ketika obat herbal dilakukan uji klinis, diteliti juga efek samping yang ditimbulkannya. Efek samping? Benar, bahwa efek terapi dan efek samping adalah dua hal yang selalu berpasangan seperti dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Setiap obat memiliki efek, apabila efek itu diharapkan maka disebut efek terapi, sedangkan efek yang tidak diharapkan disebut efek samping. Hal ini sekaligus membantah pendapat awam tentang obat herbal tidak memiliki efek samping. Apabila memang tidak memiliki efek samping, kemungkinan obat herbal itu juga tidak memiliki efek terapi.

Banyaknya efek samping suatu obat biasanya berbanding lurus dengan struktur molekul obat tersebut. Semakin komplek struktur molekul suatu obat, semakin memiliki efek samping yang semakin banyak. Jadi, obat fitofarmaka biasanya selain telah terbukti memiliki efek terapi tetapi juga banyak efek sampingnya. Tentu fitofarmaka memiliki struktur yang masih kompleks karena bahan bakunya masih diambil langsung dari alam.

Penelitian selanjutnya setelah mendapatkan fitofarmaka adalah dengan meneliti struktur molekuler dari fitofarmaka tersebut. Penelitian akan ditujukan untuk mencari senyawa apakah yang spesifik di dalam fitofarmaka tersebut yang memiliki efek terapi dan yang menimbulkan efek samping. Hasil akhirnya diharapkan dapat menemukan senyawa aktif yang memberikan efek terapi dengan “membuang” senyawa-senyawa lain yang dapat menimbulkan efek samping. Sehingga akan dihasilkan suatu senyawa aktif yang memiliki efek terapi spesifik dengan efek samping yang minimal. Senyawa aktif ini tentu saja memiliki struktur molekul yang lebih sederhana dibandingkan masih dalam bentuk fitofarmaka. Senyawa aktif ini kemudian dijadikan nama dari obat baru yang ditemukan, misalnya: dekstrometorphan, dihidroartemisinin, asetilsistein dsb.

Pada tahap ini telah dihasilkan obat medis yang tentu sudah terbukti khasiatnya. Obat modern ini tentu dihasilkan dari bahan semisintetik dan bukan alami lagi karena sudah diketahui struktur molekulnya. Perusahaan farmasi hanya perlu membuat obat dengan struktur molekul yang sudah diketahui itu dan tentu menggunakan bahan-bahan kimiawi. Apabila dicermati, obat modern ini justru memelihara alam. Mengapa? Ya, untuk membuat 500 mg obat fitofarmaka misalnya, dibutuhkan mungkin 5 kg tanaman mentah. Karena harus diolah dahulu sehingga menghasilkan BSO dan dosis yang standar. Bayangkan apabila fitofarmaka tersebut diproduksi masal, berapa ton tanaman mentah yang dibutuhkan?

Sedemikian panjangnya proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu obat medis. Maka dikotomi obat herbal dan obat medis terasa kurang tepat, karena keduanya merupakan satu rangkaian anak tangga yang puncaknya adalah obat yang diberikan dokter anda sekarang. Kita mulai sadar bahwa menemukan satu macam obat saja tidak mudah dan diperlukan waktu yang sangat panjang bahkan bertahun-tahun. Apabila dihubungkan dengan kondisi pandemi Covid 19 ketika tulisan ini dibuat, rasanya sulit dinalar apabila ada pihak-pihak yang mendadak mengumumkan menemukan obat baru untuk terapi Covid 19. Entahlah, mungkin saya yang salah.

Standar

Kritik dan Saran Untuk BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan

Oleh: Arya Srisadono

Dalam beberapa minggu ini masyarakat dihebohkan oleh rencana pemerintah yang akan meningkatkan iuran peserta BPJS kesehatan non PBI. Baik penyesuaian atau apapun istilahnya, output-nya adalah iuran BPJS naik. BPJS dikabarkan mengalami defisit dan diramalkan mencapai Rp 28,5 T pada tahun 2019. Untuk mengatasinya, pemerintah berfikir linier dengan mengusulkan kenaikan sebesar dua kali lipat yang diklaim akan membuat BPJS surplus 11,5 T di tahun 2021.

Pemikiran linier ini seolah masuk akal, tetapi itu berlaku apabila seluruh peserta BPJS non PBI mau membayar tagihannya. Pada tahun 2018, jumlah peserta BPJS kesehatan yang menunggak iuran sedikitnya 12 juta peserta atau sekitar 6 persen. Kalau iuran dinaikkan, bukan tidak mungkin jumlah peserta yang menunggak akan meningkat. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru tidak hanya defisit keuangan saja.

Kenaikan iuran menurut hemat penulis belum prioritas utama untuk dilaksanakan. Terdapat beberapa masalah yang sebaiknya diatasi terlebih dahulu baik oleh BPJS maupun instansi lain yang berkepentingan seperti Kementerian Kesehatan. Penulis mencoba untuk memetakan permasalahan defisit BPJS ini dan mencoba untuk memberikan saran dan kritik dari sudut pandang penulis, yaitu: (1) memperbaiki aplikasi P care; (2) memperjelas klasifikasi Rumah Sakit dan kewenangannya; (3) mencegah fraud; (4) meningkatkan kualitas layanan primer; (5) memperbaiki data peserta BPJS PBI; dan (6) mengevaluasi kompetensi karyawan BPJS.

1. Perbaikan Aplikasi P Care
Aplikasi P care adalah aplikasi sistem informasi pelayanan pasien berbasis web yang disediakan oleh BPJS kesehatan dan diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan primer untuk memberikan kemudahan akses data ke server BPJS. Yang penulis soroti dalam aplikasi P care yang ada sekarang adalah fungsinya untuk membuat rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau Rumah Sakit. Dalam keadaan non emergensi, sistem rujukan yang dipakai oleh BPJS adalah berjenjang dari tipe Rumah Sakit paling bawah dahulu (tipe C/D). Tetapi BPJS memberikan kebijakan untuk dapat langsung merujuk ke RS tipe A/B apabila di Rumah Sakit tipe C/D tidak ada dokter spesialis atau sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien. Hal ini difasilitasi melalui aplikasi P care. Menurut penulis, kebijakan ini baik tetapi hanya pada poin ketersediaan dokter spesialis, bukan di sarana kesahatan.

Dokter di layanan primer tidak bisa menentukan sarana/ pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan pasien yang dirujuknya. Dokter di layanan primer hanya mendiagnosis dan menentukan ke dokter spesialis mana pasien akan dirujuk. Mengenai pemeriksaan penunjang apa yang akan dipakai terserah pada dokter spesialisnya. Jadi, tidak tepat bila ada pilihan sarana di aplikasi P care ketika merujuk.

Adanya pilihan sarana ini malah menjadi celah untuk melanggar sistem rujukan berjenjang yang ditentukan BPJS sendiri. Misalnya pada contoh kasus berikut. Pasien akan dirujuk dari puskesmas dengan diagnosis Otitis Media Kronis. Tujuannya adalah ke dokter spesialis THT. Bila mengikuti aturan rujukan berjenjang, pasien seharusnya dirujuk ke Rumah Sakit tipe D/C. Seringkali pasien hanya ingin dirujuk ke Rumah Sakit besar dan adalah tipe B/A. Apabila petugas di layanan primer membolehkannya, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan me-entry acak di poin sarana sampai Rumah Sakit yang dituju muncul. Seringkali sarana yang dipilih tidak sesuai dengan diagnosis dan dokter spesialis yang dituju. Misal, diagnosisnya Otitis Media Kronik, tujuan dokter spesialis THT, tetapi sarana USG mata demi bisa memunculkan Rumah Sakit tipe B/A yang diharapkan. Ini adalah bug di aplikasi P Care yang perlu diperbaiki.

2. Memperjelas Klasifikasi Rumah Sakit dan Kewenangannya
Kementerian Kesehatan telah mengatur tentang klasifikasi Rumah Sakit melalui Permenkes nomor: 56 tahun 2014. Menurut penulis, Permenkes ini perlu direvisi karena sudah tidak sesuai lagi. Permenkes ini sudah tidak dapat memfasilitasi sistem rujukan berjenjang yang diinginkan oleh BPJS.

Poin penting di Permenkes nomor: 56 tahun 2014 yang harus direvisi adalah tentang penyebaran dokter di masing-masing tipe Rumah Sakit. Formasi dokter spesialis di RS tipe A/B masih menyebutkan adanya dokter spesialis dasar hanya berbeda di jumlahnya. Rumah Sakit tipe A membutuhkan 6 dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar sedangkan tipe B membutuhkan masing-masing 3. Menurut penulis, untuk level Rumah Sakit tipe A atau B tidak membutuhkan dokter spesialis dasar, sehingga dibutuhkan pengklasifikasian ulang terhadap Rumah Sakit. Apabila klasifikasi ini masih digunakan akan terjadi berbagai masalah, salah satunya pada ilustrasi kasus berikut. Seorang dokter spesialis bedah umum di Rumah Sakit tipe C memiliki pasien dengan Ca Mammae. Dokter bedah umum tersebut tidak dapat merujuk ke Rumah Sakit tipe B terdekat karena tidak memiliki Konsultan Bedah Onkologi. Terpaksa pasien harus dirujuk ke RS tipe A yang jaraknya jauh atau sebagai pilihan lain dokter bedah umum tersebut malah merujuk ke Rumah Sakit tipe D dengan jarak lebih dekat yang juga memiliki dokter Bedah Onkologi. Kasus ini terkesan aneh, karena dokter bedah tersebut tidak dapat merujuk ke Rumah Sakit tipe B, tetapi malah bisa merujuk ke Rumah Sakit tipe D. Walaupun begitu, hal ini sering terjadi.

Apabila sistem rujukan berorientasi kepada kompetensi dokter, seharusnya Rumah Sakit tipe A dan B yang merupakan rumah sakit rujukan utama hanya memiliki dokter subspesialis (konsultan). Rumah Sakit tipe A dan B tidak memerlukan dokter spesialis dasar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengklasifikasian ulang Rumah Sakit berdasarkan kompetensi yang diawali dengan revisi Permenkes nomor 56 tahun 2014.

3. Pencegahan Fraud
Pencegahan kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program JKN/ BPJS sudah diatur dalam Permenkes nomor 36 tahun 2015. Kecurangan JKN adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Di dalam Permenkes ini dijelaskan tentang jenis-jenis kecurangan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sistem JKN dengan sangat terperinci. Walaupun dari tahun 2015 Permenkes ini sudah disahkan, aroma fraud dalam pelaksanaan JKN masih saja tercium. Mencari fraud ini ibarat bau kentut yang tercium tapi tidak terlihat.

Fraud menjadi salah satu penyebab kerugian yang dialami oleh asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang dikabarkan sebesar 10% dari total pelayanan kesehatan setiap tahun. Melihat potensi kerugiannya yang besar, pemerintah perlu langkah-langkah konkret untuk mengatasi fraud ini. Tantangan kedepan adalah bagaimana BPJS dapat membuat sistem yang dapat meminimalkan fraud ini terjadi.

4. Peningkatan Kualitas Layanan Primer
Kualitas dokter adalah yang terpenting untuk meningkatkan kualitas di layanan primer kemudian baru disusul oleh sarana dan prasarana kesehatan. Pembentukan spesialis layanan primer oleh Kementerian Kesehatan bukan solusi untuk meningkatkan kualitas dokter. Dokter umum yang dilahirkan oleh fakultas kedokteran sudah otomatis menjadi dokter layanan primer, jadi untuk apa diadakan pendidikan spesialis layanan primer. Terlihat Kementerian Kesehatan meragukan lulusan dokter umum yang ada saat ini.
Keraguan dari Kementerian Kesehatan ini sebenarnya juga dirasakan oleh komunitas dokter sendiri. Menjamurnya Fakultas Kedokteran (FK) dengan standar kualitas yang tidak setara menjadi kritik bagi pendidikan kedokteran pada umumnya. Sebagai contoh adalah hasil Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang penulis alami dulu. Tingkat kelulusan UKDI di FK penulis mencapai lebih dari 90 %, kebalikannya tingkat kelulusan UKDI di FK tetangga sebelah kurang dari 10 %. Gap kualitas yang jauh ini sudah menjadi perbincangan hangat di komunitas dokter. Sehingga peningkatan kualitas dokter umum sekarang tidak cukup dengan solusi instan seperti diadakannya spesialis layanan primer tetapi harus ada reformasi di pendidikan kedokteran.

BPJS dan Kementerian Kesehatan juga harus lebih memperhatikan lagi kesejahteraan dokter di layanan primer. Sekarang memang sudah ada kapitasi, tetapi peruntukannya masih bersifat umum. Kementerian Kesehatan beserta BPJS perlu mempermudah dan mengembangkan sistem kedokteran keluarga sebagai Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) utama sehingga Puskesmas lebih fokus di Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

Berbagai tindakan medis di layanan primer yang dapat diklaimkan perlu ditingkatkan. Tindakan bedah minor seperti eksisi lipoma, sirkumsisi, dll, tidak dapat di klaim ke BPJS. Nominal klaim juga harus sesuai dengan realita. Jangan memberikan nominal yang jauh di bawah harga yang wajar.

5. Perbaikan Data Peserta BPJS PBI
Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannnya dibayari Pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Fakta di lapangan masih saja ditemukan peserta BPJS PBI yang tidak layak disebut miskin dan masih ada orang miskin yang tidak terdaftar sebagai PBI. Akhir-akhir ini penulis menemukan satu orang peserta PBI yang memiliki dua kartu, kemungkinan satu dibiayai Pemerintah Pusat dan yang satunya dibiayai Pemerintah Daerah. Kesemrawutan data penduduk miskin ini perlu segera diperbaiki oleh Pemerintah.

6. Evaluasi Kompetensi Karyawan BPJS
Penulis pernah diundang rapat oleh BPJS di daerah. Salah satu yang dibahas disitu adalah tentang rasio rujukan. Yang penulis heran adalah ketidakpahaman pegawai BPJS yang memimpin rapat tentang diagnosis yang beliau tampilkan sendiri. Berulangkali beliau bertanya, “Diagnosis ini artinya apa saya tidak paham”, sehingga peserta rapat yang mayoritas dokter harus memberikan penjelasan. Pertanyaannya, apakah bisa pegawai BPJS yang merupakan pimpinan di daerah itu memahami tentang sistem layanan kesehatan apabila diagnosis penyakit saja tidak paham?
Wawancara di televisi swasta beberapa hari lalu yang membahas tentang rencana kenaikan tarif iuran BPJS juga menimbulkan pertanyaan di benak penulis. Ketika salah satu narasumber bertanya ke humas BPJS tentang berapa total biaya untuk menjalankan program JKN, tidak dapat dijawab dengan jelas. Akhirnya narasumber dari BPJS Watch yang sejatinya pihak diluar BPJS membantu menjawabnya.

BPJS perlu mengevaluasi karyawannya. Prinsip the right man in the right place seharusnya diterapkan. Bagaimanapun juga kompetensi dan background pendidikan menjadi poin penting. Namun, penulis juga pernah diundang rapat oleh pimpinan BPJS lainnya di daerah dimana beliau terlihat sangat expert. Orang-orang expert seperti ini yang seharusnya banyak dimiliki oleh BPJS.

Pemerintah jangan terburu-buru menaikkan iuran BPJS apalagi sampai dua kali lipat. Pebaikan sistem di BPJS sendiri lebih urgent untuk diprioritaskan. Saran dan kritik yang penulis sampaikan ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Walaupun begitu, enam saran dari penulis ini bisa menjadi pengingat. Tujuan utamanya adalah BPJS harus survive. BPJS sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Bukankah Universal Health Coverage adalah cita-cita bangsa kita sejak lama?

Standar

Istithaah Kesehatan Sebagai Syarat Berangkat Haji

Oleh: Arya Srisadono

haji

Istithaah kesehatan merupakan kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah untuk “menyaring” layak tidaknya calon Jemaah Haji untuk dapat menunaikan ibadahnya. Ibadah haji wajib bagi yang mampu. Kata mampu ini didefinisikan pemerintah dalam 5 hal yaitu (1) mampu jasmani, (2) mampu ruhani, (3) mampu pembekalan, (4) terjaminnya keamanan, dan (5) tidak menelantarkan keluarga. Definisi mampu ini oleh pemerintah diistilahkan menjadi Istithaah.

Kemampuan calon Jemaah Haji dalam hal jasmani dan ruhani diukur dengan berbagai persyaratan yang oleh pemerintah disebut sebagai istithaah kesehatan. Adanya istithaah kesehatan ini sudah dilegalkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 tahun 2016. Dengan adanya aturan ini mengharuskan calon Jemaah Haji memenuhi berbagai persyaratan kesehatan untuk dapat beribadah haji. Calon Jemaah Haji yang tidak memenuhi persyaratan Istithaah Kesehatan tentu tidak dapat berangkat. Bola panas dari keputusan layak dan tidak layak ini ada di tangan tim dokter pemeriksa. Pemahaman tentang istithaah dan keadaan geografis di Mekah dan Madinah penting dipahami dokter untuk dapat bijak dalam memutuskan.

Pemerintah menyusun 4 klasifikasi istithaah kesehatan sebagai kesimpulan akhir terhadap kelayakan seorang calon Jemaah Haji. Klasifikasi itu adalah (1) memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, (2) memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, (3) tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, dan (4) tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji. Hasil keputusan istithaah yang telah ditetapkan membawa tanggung jawab besar karena menentukan tentang kewajiban seseorang dalam menjalankan rukun Islam. Tim dokter yang ditunjuk untuk melakukan assessment, memanggul beban yang sangat berat.

Sebelum memberikan keputusan istithaah kesehatan terhadap calon Jemaah Haji, dokter setidaknya memiliki pengetahuan tentang 4 hal yaitu: (1) pemahaman  tentang kondisi kesehatan calon Jemaah Haji, (2) pengetahuan tentang persyaratan istithaah kesehatan, (3) pengetahuan tentang kegiatan-kegiatan dalam ibadah haji, dan (4) pengetahunan tentang kondisi geografis di Mekah dan Madinah. Keempat hal ini menurut penulis cukup esensial sebelum dokter memutuskan status istithaah seorang calon Jemaah Haji. Selama calon Jemaah Haji belum berangkat ke tanah suci, dilakukan berbagai pemeriksaan kesehatan disertai pembinaan kepada calon Jemaah Haji agar mencapai status Istithaah yang optimal.

Dokter bertugas memeriksa kesehatan calon jemaah haji dan harus memahami status kesehatannya. Assessment dari dokter ini nantinya dihubungkan dengan status istithaah calon Jemaah Haji tersebut. Kondisi medis seorang calon Jemaah Haji yang diperoleh dokter dari hasil pemeriksaan menjadi dasar penilaian dokter terhadap kemampuan calon jemaah melaksanakan ibadah haji. Penilaian ini pada akhirnya melahirkan status istithaah.

Empat klasifikasi atau status Istithaah calon Jemaah Haji merupakan hasil kesepakatan di lingkup pemerintah. Hasil kesepakatan ini harus satu pemahaman sampai pada level pelaksana. Penulis sering melihat ketidaksepahaman dokter dalam menilai klasifikasi istithaah. Yang paling sering yaitu ketidaksepahaman dalam membedakan antara kategori memenuhi syarat istithaah atau memenuhi syarat istithaah dengan pendampingan. Poin penting dari dua kategori itu adalah penilaian dokter apakah calon Jemaah Haji membutuhkan pendampingan (support) atau tidak.

Berdasarkan Permenkes nomor 15 tahun 2016, jemaah haji yang memenuhi syarat istithaah kesehatan adalah jemaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan (support) obat, alat, dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dengan kategori cukup. Apabila disederhanakan, jemaah haji yang memerlukan pendampingan adalah jemaah haji yang apabila support-nya dicabut, jemaah haji tersebut tidak kuat untuk melaksanakan ibadah haji. Dokter yang akhirnya menentukan, apakah temuan-temuan medis pada seorang jemaah haji mengharuskannya memperoleh support dari luar. Penjelasan ini yang menurut penulis dapat digunakan untuk membedakan kedua kategori ini.

Apabila kita merujuk dari penjelasan tentang support yang membedakan kategori istithaah pertama dan kedua, terdapat ketidaksepahaman penulis dengan beberapa isi dari Permenkes nomor 15 tahun 2016. Sebagai contoh dalam pasal 11[1] dimana pemerintah memasukkan lansia kedalam kategori istithaah dengan pendampingan. Menurut penulis, tidak semua lansia selalu memerlukan support sehingga mengharuskannya untuk masuk kategori dengan pendampingan. Kondisi lansia memang dikategorikan kedalam jemaah risiko tinggi (risti). Tetapi menurut penulis, penetapan status istithaah tidak berdasarkan risiko tetapi dari jenis penyakit spesifik yang diderita oleh jemaah. Jadi dokter menetapkan status istithaah bukan karena jemaah itu lansia atau merokok, tetapi karena jemaah tersebut menderita penyakit spesifik. Hal ini perlu penulis sampaikan karena akan memudahkan terutama dokter kloter ketika melakukan mapping jemaahnya. Dengan banyaknya jemaah haji lansia di Indonesia akan sulit bagi dokter kloter untuk menentukan prioritas jemaah yang perlu perhatian lebih. Tim pemeriksa Jemaah Haji di daerah juga dituntut untuk lebih teliti untuk mencari penyakit- penyakit pada Jemaah haji lansia. Gelang orange (penanda risti) yang dipakai Jemaah Haji akan lebih bermanfaat karena Jemaah yang memakainya adalah yang benar-benar perlu perhatian lebih oleh Petugas Haji.

Kriteria untuk status istithaah calon jemaah haji kategori 3 dan 4 yaitu yang tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan sementara dan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan sudah banyak dijelaskan dalam Permenkes tentang Istithaah Kesehatan. Persyaratan istithaah pada kategori 3 (tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan sementara) [2] masih bersifat reversible atau masih dapat diperbaiki sehingga jemaah haji dapat dinaikkan kedalam kategori 1 atau 2 walaupun menyebabkan calon jemaah haji tertunda keberangkatannya. Sedangkan persyaratan istithaah pada kategori 4 (tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan)[3] bersifat permanen. Intervensi medis optimal yang diberikan terhadap jemaah dengan kategori ini tidak dapat menjadikannya naik tingkat ke kategori 1 atau 2 sehingga calon jemaah haji selamanya tidak dapat berangkat haji.

 

Kriteria istithaah ditetapkan dengan tujuan untuk menilai kemampuan calon Jemaah Haji untuk beribadah di tanah suci. Oleh karena itu, pengetahuan tentang syarat dan rukun haji serta gambaran kondisi geografis di Arab Saudi menjadi penting. Kegiatan-kegiatan selama ibadah haji dan kondisi geografis di Arab Saudi tentunya menjadi pertimbangan dalam menentukan kriteria istithaah. Pengetahuan dokter tentang kedua hal ini dapat mempermudah dokter untuk memperkirakan apakah calon Jemaah dengan kondisi kesehatan tertentu dapat beribadah nantinya. Pengetahuan ini juga bermanfaat bagi dokter ketika memberikan pembinaan kesehatan kepada calon Jemaah Haji untuk mempersiapkan kondisi fisik dan mental mereka sebaik-baiknya.

Penetapan istithaah kesehatan ini mungkin merupakan ijtihad pemerintah dalam mendefinisikan kata “mampu” dalam kewajiban beribadah haji dari warga negaranya. Ibadah haji bagi mayoritas muslim Indonesia adalah tujuan hidup. Mereka rela menabung bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun untuk melaksanakan cita-citanya ini. Mayoritas Jemaah Haji Indonesia adalah lansia dan dengan berbagai penyakit degeneratif yang telah diderita. Disisi lain pemerintah ingin melindungi warganya. Wujud perlindungannya salah satunya dengan menetapkan syarat istithaah kesehatan. Bagaimana istithaah ini dilaksanakan dengan tidak menimbulkan ketidakadilan? Sudah menjadi tugas pemerintah untuk mencari jawabannya.

 

[1] Kriteria Jemaah Haji yang memenuhi syarat istithaah kesehatan dengan pendampingan berdasarkan Permenkes nomor 15 tahun 2016 Pasal 11 adalah:

  1. Berusia 60 tahun atau lebih, dan/atau
  2. Menderita penyakit tertentu yang tidak masuk dalam kriteria tidak memenuhi syarat istithaah sementara dan/atau tidak memenuhi syarat istithaah.

[2] Kriteria Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara sesuai Permenkes nomor 15 tahun 2016 Pasal 12 adalah:

  1. Tidak memiliki sertifikat vaksinasi meningitis (ICV) yang sah
  2. Menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh yaitu: Tuberkulosis BTA positif, TB MDR, DM tidak terkontrol, Hipertiroid, HIV-AIDS dengn Diare Kronik, Stroke Akut, Perdarahan saluran cerna, anemia gravis
  3. Suspek dan/atau confirm penyakit menular berpotensi wabah
  4. Psikosis Akut
  5. Fraktur tungkai yang membutuhkan imobilisasi
  6. Fraktur tulang belakang tanpa komplikasi neurologis
  7. Hamil yang diprediksi usia kehamilannya pada saat keberangkatan kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu.

[3] Kriteria Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji berdasarkan Permenkes nomor 15 tahun 2016 Pasal 13 adalah:

  1. Kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain PPOK derajat IV, Gagal Jantung stadium IV, CKD stadium IV dengan dialysis regular, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, Stroke Hemoragik luas
  2. Gangguan Jiwa Berat antara lain: skizofrenia berat, dimensia berat, dan retardasi mental berat
  3. Jemaah dengan penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, antara lain keganasan stadium akhir, Tuberkulosis TDR, sirosis atau hepatoma dekompensata.
Standar

Puskesmas Pasca Akreditasi

puskesmas

“Puskesmas jangan tidur paska akreditasi!”. Pesan surveyor ini yang penulis ingat ketika acara closing ceremony paska penilaian akreditasi kemarin. Seolah sudah menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, kembalinya Puskesmas ke kebiasaan lama sebelum akreditasi memang sulit dihindari. Akreditasi menjadi standar yang terlalu tinggi untuk dilakukan bagi sebagian besar karyawan.

Disadari atau tidak, motivasi untuk menjalankan akreditasi ini memang berbeda-beda. Ada yang hanya melaksanakan persyaratan untuk menjadi mitra BPJS, dan ada juga sedikit yang memiliki motivasi untuk meningkatkan mutu pelayanan. Motivasi ini penting karena sebagai landasan untuk kedepannya. Apakah akreditasi ini sebagai tujuan atau sebagai titik awal dalam usaha peningkatan mutu pelayanan.

SDM memang penting dalam menjalankan setiap roda institusi apapun itu. Sulit sekali di negara ini mendapatkan tenaga kerja yang punya integritas dan kompetensi. Dua hal ini menjadi barang langka. Entah kenapa, dua hal yang sering sekali kita dengar dan dengungkan tetapi menjadi sangat sulit untuk diperoleh. Bila tidak ada dua hal ini baik di kalangan karyawan bahkan level pimpinan, sulit sekali kita mengejar ketertinggalan kita. Jangankan merangkak maju, kita malah bisa berjalan mundur.

Dukungan materi terhadap pelayanan kesehatan tidak bisa dinafikan. Support terhadap pelayanan kesehatan kita saat ini berasal dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan dana JKN BPJS. Kesehatan harusnya menjadi prioritas dalam pembangunan manusia disamping pendidikan. Anggaran terhadap kesehatan harus ditambah. Tidak bisa diingkari bahwa besarnya dana JKN yang masuk ke Puskesmas sangat membantu dalam pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif. Hanya saja, Puskesmas berbeda dengan FKTP yang lain. Puskesmas memiliki tugas dalam kesehatan masyarakat yang seharusnya lebih penting karena bersifat promotif dan preventif. Logikanya, apabila lebih penting seharusnya dana yang diberikan di sektor ini lebih besar. Anggaran BOK yang selama ini membiayai kegiatan kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan. Itu kalau kita ingin program-program kesehatan di masyarakat bisa berjalan optimal.

Motivasi, SDM, dan anggaran merupakan 3 hal yang esensial untuk Puskesmas bisa berjalan optimal. Motivasi dimulai dari pimpinan sampai ke karyawan yang paling bawah. Sehingga dalam akreditasi ada komitmen mutu yang berfungsi untuk menumbuhkan motivasi dan sifatnya berkelanjutan. SDM di Puskesmas perlu ditata ulang. Penataan ulang baik terhadap Kepala Puskesmas maupun seluruh karyawan ditempatkan sesuai kompetensi dan level integritasnya. Puskesmas berbeda dengan institusi lainnya dimana karyawan dituntut dapat bekerja diluar kompetensinya. Kepala Puskesmas dituntut untuk dapat mengenal karyawannya untuk mengatur penempatannya. Selain motivasi dan SDM, anggaran merupakan item yang mutlak diperlukan. Penyusunan anggaran yang tepat menuntut perencanaan yang tepat pula. Metodenya sudah ada, hanya pelaksanaannya saja yang sering berjalan kurang baik.

Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Penulis sangat kagum dengan beliau yang pertama kali membuat konsep Puskesmas berikut program-program di dalamnya. Program-program di Puskesmas merupakan feasible solution bagi masyarakat. Seandainya saja Pemerintah kita lebih memperhatikan Puskesmas dengan mensuplai SDM berkualitas dan anggaran yang memadai, sepertinya masalah kesehatan di Indonesia akan banyak berkurang. Sepertinya mudah diucapkan tapi sulit dilakukan bukan?

Standar

Puskesmas Nasibmu Kini

Oleh: dr. Arya Srisadono

 

Beberapa tahun belakangan ini banyak Puskesmas di Indonesia berbenah. Mereka diharuskan melakukan akreditasi yang deadline nya adalah di tahun 2019. Reformasi kesehatan ini begitu masif dilakukan oleh semua Puskesmas di Indonesia. Bagaimana reformasi ini bisa terjadi? Jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena andil dari BPJS yang mengancam akan menarik aliran dana kapitasi ke Puskesmas apabila sampai tahun 2019 Puskemas belum terakreditasi. Dari sini kita bisa melihat perubahan di negara kita masih berlandaskan pada azas “ujung-ujung duit” atau “UUD”. Suatu pondasi yang sangat lemah terhadap suatu konsep yang sejatinya sangat baik untuk memulai reformasi kesehatan di negara kita.

Terdapat tiga poin penting yang perlu kita cermati dalam proses akreditasi Puskesmas yang sekarang sangat marak. Pertama adalah dari pihak yang diakreditasi yaitu Puskesmas. Apakah motivasi sesungguhnya dari karyawan Puskesmas dalam menjalankan proses akreditasi, baik dari pihak pimpinan sampai karyawan biasa. Kedua adalah pihak yang mengakreditasi yang umum disebut surveior. Apakah surveior benar-benar sudah obyektif dalam menilai Puskesmas yang disurvei. Ketiga adalah konsep dari akreditasi itu sendiri. Apakah konsep akreditasi memang sudah sesuai dengan semangat paradigma sehat yang menjadi landasan dalam pelayanan di Puskesmas. Penulis akan berusaha menguaknya satu-persatu.

Sudah penulis utarakan diawal bahwa munculnya motivasi melaksanakan akreditasi Puskesmas saat ini adalah hasil dari tekanan BPJS. Setiap bulan BPJS menyetorkan dana yang tidak sedikit ke Puskesmas sebagai dana kapitasi. Dana ini dipakai untuk perbaikan infrastrukur, sarana prasarana, melengkapi alat-alat kesehatan dan tentu saja jasa pelayanan. Di era Askes dulu tidak ada dana semacam ini masuk ke Puskesmas. Alhasil apabila ada ancaman untuk menarik dana kapitasi dari BPJS, Puskesmas tentu menjadi kelimpungan. Cara ini yang dipakai Pemerintah untuk memaksa Puskesmas melakukan perbaikan layanan mereka melalui proses akreditasi. Seolah tampak positif, karena output yang didapatkan adalah perbaikan layanan. Tapi pertanyaannya apakah benar terjadi perbaikan yang signifikan? I don’t think so. Seperti telah menjadi watak kita untuk berusaha mencari jalan pintas dalam mengatasi masalah. Proses akreditasi yang seharusnya dilalui tahap demi tahap dan elemen demi elemen diterabas. Akhirnya yang menonjol hanyalah bangunan Puskesmas yang baru, sambutan yang berlebihan ketika menyambut surveior, dan segala hal yang hanya bersifat fisik dan jauh sekali dari esensi yang diharapkan dari proses akreditasi itu sendiri. Jalannya proses akreditasi yang kurang sportif dan mengutamakan fisik ini celakanya menghabiskan dana yang sangat besar. Pemborosan dana ini dapat mengancam keberlanjutan dari proses akreditasi yang seharusnya rutin dilakukan setiap 3 tahun. Untuk bisa berlanjut, Puskesmas dituntut “kreatif” mencari dana yang besar untuk proses akreditasi yang salah paham ini. Penulis sebut salah paham karena memang jauh dari pemahaman akreditasi yang benar. Akreditasi yang benar lebih mengutamakan perbaikan sistem manajemen kesehatan di Puskesmas dari pada hanya sekedar perbaikan fisik. Sungguh sudah terjadi akreditasi salah paham.

Mungkin karena mayoritas Puskesmas baru pertama kali melakukan penilaian akreditasi, surveior terkesan lunak dalam memberi nilai. Lunak silakan saja, tetapi kalau sampai muncul anggapan kalau akreditasi pasti lulus, tentu terdengar aneh. Di kalangan pimpinan dan karyawan Puskesmas muncul “syarat-syarat” aneh sebagai tips untuk lulus akreditasi. “Syarat” yang sering muncul antara lain: selama penilaian Kepala Puskesmas yang penting selalu hadir, bangunan Puskesmas ketika penilaian harus baru, memiliki dokumen (tidak peduli dilaksanakan atau tidak) dan ketika penilaian memberikan sambutan yang “wah” kepada surveior. “Bila semua itu bisa dilakukan pasti lulus akreditasinya”. Inilah persepsi yang sering penulis dengar. “Syarat” yang salah paham ini bisa muncul salah satunya karena terlalu lunaknya penilaian yang diberikan surveior.

Konsep akreditasi telah disusun sedemikian rupa dan sangat lengkap. Dimulai dari pembagian sistem puskesmas menjadi 3 yaitu administrasi dan manajemen (Admen), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Tidak cukup itu pembentukan tim mutu dan keselamatan pasien juga suatu keniscayaan. Dengan sedemikian lengkapnya proses akreditasi Puskesmas yang harus dilaksanakan, tentu saja kualitas Puskesmas akan meningkat. Tentu saja dengan catatan, yaitu proses ini dilakasanakan dengan benar dan sportif.

Di dalam konsep akreditasi yang lengkap ini, penulis menyoroti pada pembagian pelayanan di Puskesmas menjadi UKM dan UKP. Pembagian ini menjadikan UKM dan UKP setara. Dahulu, sebelum muncul konsep UKM dan UKP, layanan di Puskesmas minimal mencakup 6 program pokok. Diantara 6 program pokok itu 5 program bersifat UKM sedangkan hanya 1 program yang bersifat UKP yaitu pengobatan. Berbeda dengan sekarang, dahulu UKP hanya seper-enam dari seluruh program yang ada di Puskesmas. Konsep lama ini menurut penulis justru sangat sesuai dengan konsep paradigma sehat yang menjadi landasan layanan Puskesmas. Bila kita pilah lebih dalam lagi, menggunakan konsep UKM-UKP yang setara, bisa kita dapatkan Program Promosi Kesehatan (Promkes) setara dengan Laboratorium. Penyetaraan ini sangat mengganggu penulis karena terasa tidak sebanding dan bertentangan dengan filosofi pendirian Puskemas yaitu lebih mengutamakan kegiatan promotif dan preventif.

Sedemikan banyak masalah yang bisa ditemui dalam proses akreditasi di Puskesmas. Masalah-masalah ini tentu membutuhkan penanganan yang urgent. Bisa jadi diperlukan peninjauan kembali tentang konsep dasar akreditasi itu sendiri. Penilaian yang lebih tegas dan obyektif dari surveior mutlak diperlukan. Pemberian pemahaman yang benar tentang akreditasi kepada pihak-pihak yang akan diakreditasi juga diperlukan. Perubahan-perubahan kearah perbaikan ini perlu agar reformasi pelayanan Puskesmas melalui sistem akreditasi ini bisa tetap berlanjut.

 

 

Standar

Imunisasi, Suatu Upaya Kesehatan untuk Masyarakat

Oleh: dr. Arya Srisadono

 

Bulan Agustus dan September kemarin, telah dilaksanakan kampanye imunisasi Measles dan Rubella (MR). Kegiatan ini diselenggarakan di seluruh pulau Jawa, dengan sasaran anak usia 9 bulan sampai kurang dari 15 tahun. Kampanye MR sudah selesai dan menyisakan beberapa hal yang menarik. Ternyata, tidak semua orang tua memperbolehkan anak-anaknya untuk diimunisasi. Berbagai penolakan dari kelompok tertentu memang bukan barang baru dan sudah terprediksi kemunculannya. Alasan menolaknya bukan karena kesalahpahaman informasi apalagi karena perbedaan-perbedaan pendapat yang bersifat ilmiah. Mereka menolak lebih karena suatu hal, yang menurut penulis, lebih dikarenakan alasan-alasan dogmatis.

Apabila kita membahas imunisasi, kita akan langsung ingat dengan imunitas atau kekebalan. Imunisasi secara sederhana bisa diartikan dengan suatu intervensi yang dilakukan untuk memunculkan kekebalan tubuh terhadap suatu agent tertentu. Dalam konteks imunisasi, yang dimaksud agent adalah bakteri atau virus. Intervensi yang dilakukan dibagi dua yaitu bersifat aktif dan pasif.

Imunisasi aktif dilakukan dengan memasukkan agent yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh. Karena agent yang masuk ke tubuh lemah, sistem imunitas dalam tubuh akan dengan mudah membasminya. Pada fase ini, sistem imunitas mengenali dan membentuk antibodi spesifik akibat interaksi dengan agent tadi. Apabila tubuh yang sudah diimunisasi tadi kemasukan agent yang sama dan tentu lebih ganas, tubuh sudah memiliki antibodi spesifik terhadap agent tersebut, sehingga dapat membasminya dengan lebih mudah. Berbeda apabila tubuh belum memiliki antibodi spesifik, agent yang masuk tentu saja sulit dibasmi. Akibatnya, tubuh menjadi sakit dan dibutuhkan intervensi lain untuk menyembuhkannya yaitu terapi medis.

Proses dalam imunisasi pasif lebih sederhana. Intervensi yang dilakukan yaitu dengan langsung memberikan antibodi spesifik ke dalam tubuh. Jadi, tubuh tidak membentuk antibodi spesifiknya sendiri melainkan di import dari luar. Karena tidak memproduksi sendiri, antibodi ini bisa habis dan bila sudah habis harus diberikan lagi.

Imunisasi bersifat preventif bukan kuratif. Imunisasi diberikan untuk mencegah timbulnya penyakit dengan memberikan kekebalan. Dalam dunia kedokteran, imunisasi merupakan produk penelitian tersukses selain penemuan antibiotik. Dengan adanya imunisasi, angka morbiditas dan mortalitas menurun signifikan. Bukti-bukti ini tidak terbantahkan dan merupakan kontribusi yang luar biasa dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Rasanya aneh apabila imunisasi ditolak, terdengar tidak rasional. Apabila anda memang menolak imunisasi dan memiliki alasan sendiri, silakan berikan kajian-kajian ilmiah tentang penolakan anda. Upload kajian ilmiah anda dalam forum atau jurnal-jurnal ilmiah. Imunisasi ini produk ilmiah dan cara mengkritik atau menolaknya juga harus ilmiah. Jangan hanya berdebat di medsos yang sifatnya hanya debat kusir tanpa bisa dipertanggungjawabkan.

Standar