Oleh: Arya Srisadono
Dalam beberapa minggu ini masyarakat dihebohkan oleh rencana pemerintah yang akan meningkatkan iuran peserta BPJS kesehatan non PBI. Baik penyesuaian atau apapun istilahnya, output-nya adalah iuran BPJS naik. BPJS dikabarkan mengalami defisit dan diramalkan mencapai Rp 28,5 T pada tahun 2019. Untuk mengatasinya, pemerintah berfikir linier dengan mengusulkan kenaikan sebesar dua kali lipat yang diklaim akan membuat BPJS surplus 11,5 T di tahun 2021.
Pemikiran linier ini seolah masuk akal, tetapi itu berlaku apabila seluruh peserta BPJS non PBI mau membayar tagihannya. Pada tahun 2018, jumlah peserta BPJS kesehatan yang menunggak iuran sedikitnya 12 juta peserta atau sekitar 6 persen. Kalau iuran dinaikkan, bukan tidak mungkin jumlah peserta yang menunggak akan meningkat. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru tidak hanya defisit keuangan saja.
Kenaikan iuran menurut hemat penulis belum prioritas utama untuk dilaksanakan. Terdapat beberapa masalah yang sebaiknya diatasi terlebih dahulu baik oleh BPJS maupun instansi lain yang berkepentingan seperti Kementerian Kesehatan. Penulis mencoba untuk memetakan permasalahan defisit BPJS ini dan mencoba untuk memberikan saran dan kritik dari sudut pandang penulis, yaitu: (1) memperbaiki aplikasi P care; (2) memperjelas klasifikasi Rumah Sakit dan kewenangannya; (3) mencegah fraud; (4) meningkatkan kualitas layanan primer; (5) memperbaiki data peserta BPJS PBI; dan (6) mengevaluasi kompetensi karyawan BPJS.
1. Perbaikan Aplikasi P Care
Aplikasi P care adalah aplikasi sistem informasi pelayanan pasien berbasis web yang disediakan oleh BPJS kesehatan dan diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan primer untuk memberikan kemudahan akses data ke server BPJS. Yang penulis soroti dalam aplikasi P care yang ada sekarang adalah fungsinya untuk membuat rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau Rumah Sakit. Dalam keadaan non emergensi, sistem rujukan yang dipakai oleh BPJS adalah berjenjang dari tipe Rumah Sakit paling bawah dahulu (tipe C/D). Tetapi BPJS memberikan kebijakan untuk dapat langsung merujuk ke RS tipe A/B apabila di Rumah Sakit tipe C/D tidak ada dokter spesialis atau sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien. Hal ini difasilitasi melalui aplikasi P care. Menurut penulis, kebijakan ini baik tetapi hanya pada poin ketersediaan dokter spesialis, bukan di sarana kesahatan.
Dokter di layanan primer tidak bisa menentukan sarana/ pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan pasien yang dirujuknya. Dokter di layanan primer hanya mendiagnosis dan menentukan ke dokter spesialis mana pasien akan dirujuk. Mengenai pemeriksaan penunjang apa yang akan dipakai terserah pada dokter spesialisnya. Jadi, tidak tepat bila ada pilihan sarana di aplikasi P care ketika merujuk.
Adanya pilihan sarana ini malah menjadi celah untuk melanggar sistem rujukan berjenjang yang ditentukan BPJS sendiri. Misalnya pada contoh kasus berikut. Pasien akan dirujuk dari puskesmas dengan diagnosis Otitis Media Kronis. Tujuannya adalah ke dokter spesialis THT. Bila mengikuti aturan rujukan berjenjang, pasien seharusnya dirujuk ke Rumah Sakit tipe D/C. Seringkali pasien hanya ingin dirujuk ke Rumah Sakit besar dan adalah tipe B/A. Apabila petugas di layanan primer membolehkannya, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan me-entry acak di poin sarana sampai Rumah Sakit yang dituju muncul. Seringkali sarana yang dipilih tidak sesuai dengan diagnosis dan dokter spesialis yang dituju. Misal, diagnosisnya Otitis Media Kronik, tujuan dokter spesialis THT, tetapi sarana USG mata demi bisa memunculkan Rumah Sakit tipe B/A yang diharapkan. Ini adalah bug di aplikasi P Care yang perlu diperbaiki.
2. Memperjelas Klasifikasi Rumah Sakit dan Kewenangannya
Kementerian Kesehatan telah mengatur tentang klasifikasi Rumah Sakit melalui Permenkes nomor: 56 tahun 2014. Menurut penulis, Permenkes ini perlu direvisi karena sudah tidak sesuai lagi. Permenkes ini sudah tidak dapat memfasilitasi sistem rujukan berjenjang yang diinginkan oleh BPJS.
Poin penting di Permenkes nomor: 56 tahun 2014 yang harus direvisi adalah tentang penyebaran dokter di masing-masing tipe Rumah Sakit. Formasi dokter spesialis di RS tipe A/B masih menyebutkan adanya dokter spesialis dasar hanya berbeda di jumlahnya. Rumah Sakit tipe A membutuhkan 6 dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar sedangkan tipe B membutuhkan masing-masing 3. Menurut penulis, untuk level Rumah Sakit tipe A atau B tidak membutuhkan dokter spesialis dasar, sehingga dibutuhkan pengklasifikasian ulang terhadap Rumah Sakit. Apabila klasifikasi ini masih digunakan akan terjadi berbagai masalah, salah satunya pada ilustrasi kasus berikut. Seorang dokter spesialis bedah umum di Rumah Sakit tipe C memiliki pasien dengan Ca Mammae. Dokter bedah umum tersebut tidak dapat merujuk ke Rumah Sakit tipe B terdekat karena tidak memiliki Konsultan Bedah Onkologi. Terpaksa pasien harus dirujuk ke RS tipe A yang jaraknya jauh atau sebagai pilihan lain dokter bedah umum tersebut malah merujuk ke Rumah Sakit tipe D dengan jarak lebih dekat yang juga memiliki dokter Bedah Onkologi. Kasus ini terkesan aneh, karena dokter bedah tersebut tidak dapat merujuk ke Rumah Sakit tipe B, tetapi malah bisa merujuk ke Rumah Sakit tipe D. Walaupun begitu, hal ini sering terjadi.
Apabila sistem rujukan berorientasi kepada kompetensi dokter, seharusnya Rumah Sakit tipe A dan B yang merupakan rumah sakit rujukan utama hanya memiliki dokter subspesialis (konsultan). Rumah Sakit tipe A dan B tidak memerlukan dokter spesialis dasar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengklasifikasian ulang Rumah Sakit berdasarkan kompetensi yang diawali dengan revisi Permenkes nomor 56 tahun 2014.
3. Pencegahan Fraud
Pencegahan kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program JKN/ BPJS sudah diatur dalam Permenkes nomor 36 tahun 2015. Kecurangan JKN adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Di dalam Permenkes ini dijelaskan tentang jenis-jenis kecurangan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sistem JKN dengan sangat terperinci. Walaupun dari tahun 2015 Permenkes ini sudah disahkan, aroma fraud dalam pelaksanaan JKN masih saja tercium. Mencari fraud ini ibarat bau kentut yang tercium tapi tidak terlihat.
Fraud menjadi salah satu penyebab kerugian yang dialami oleh asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang dikabarkan sebesar 10% dari total pelayanan kesehatan setiap tahun. Melihat potensi kerugiannya yang besar, pemerintah perlu langkah-langkah konkret untuk mengatasi fraud ini. Tantangan kedepan adalah bagaimana BPJS dapat membuat sistem yang dapat meminimalkan fraud ini terjadi.
4. Peningkatan Kualitas Layanan Primer
Kualitas dokter adalah yang terpenting untuk meningkatkan kualitas di layanan primer kemudian baru disusul oleh sarana dan prasarana kesehatan. Pembentukan spesialis layanan primer oleh Kementerian Kesehatan bukan solusi untuk meningkatkan kualitas dokter. Dokter umum yang dilahirkan oleh fakultas kedokteran sudah otomatis menjadi dokter layanan primer, jadi untuk apa diadakan pendidikan spesialis layanan primer. Terlihat Kementerian Kesehatan meragukan lulusan dokter umum yang ada saat ini.
Keraguan dari Kementerian Kesehatan ini sebenarnya juga dirasakan oleh komunitas dokter sendiri. Menjamurnya Fakultas Kedokteran (FK) dengan standar kualitas yang tidak setara menjadi kritik bagi pendidikan kedokteran pada umumnya. Sebagai contoh adalah hasil Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang penulis alami dulu. Tingkat kelulusan UKDI di FK penulis mencapai lebih dari 90 %, kebalikannya tingkat kelulusan UKDI di FK tetangga sebelah kurang dari 10 %. Gap kualitas yang jauh ini sudah menjadi perbincangan hangat di komunitas dokter. Sehingga peningkatan kualitas dokter umum sekarang tidak cukup dengan solusi instan seperti diadakannya spesialis layanan primer tetapi harus ada reformasi di pendidikan kedokteran.
BPJS dan Kementerian Kesehatan juga harus lebih memperhatikan lagi kesejahteraan dokter di layanan primer. Sekarang memang sudah ada kapitasi, tetapi peruntukannya masih bersifat umum. Kementerian Kesehatan beserta BPJS perlu mempermudah dan mengembangkan sistem kedokteran keluarga sebagai Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) utama sehingga Puskesmas lebih fokus di Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).
Berbagai tindakan medis di layanan primer yang dapat diklaimkan perlu ditingkatkan. Tindakan bedah minor seperti eksisi lipoma, sirkumsisi, dll, tidak dapat di klaim ke BPJS. Nominal klaim juga harus sesuai dengan realita. Jangan memberikan nominal yang jauh di bawah harga yang wajar.
5. Perbaikan Data Peserta BPJS PBI
Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannnya dibayari Pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Fakta di lapangan masih saja ditemukan peserta BPJS PBI yang tidak layak disebut miskin dan masih ada orang miskin yang tidak terdaftar sebagai PBI. Akhir-akhir ini penulis menemukan satu orang peserta PBI yang memiliki dua kartu, kemungkinan satu dibiayai Pemerintah Pusat dan yang satunya dibiayai Pemerintah Daerah. Kesemrawutan data penduduk miskin ini perlu segera diperbaiki oleh Pemerintah.
6. Evaluasi Kompetensi Karyawan BPJS
Penulis pernah diundang rapat oleh BPJS di daerah. Salah satu yang dibahas disitu adalah tentang rasio rujukan. Yang penulis heran adalah ketidakpahaman pegawai BPJS yang memimpin rapat tentang diagnosis yang beliau tampilkan sendiri. Berulangkali beliau bertanya, “Diagnosis ini artinya apa saya tidak paham”, sehingga peserta rapat yang mayoritas dokter harus memberikan penjelasan. Pertanyaannya, apakah bisa pegawai BPJS yang merupakan pimpinan di daerah itu memahami tentang sistem layanan kesehatan apabila diagnosis penyakit saja tidak paham?
Wawancara di televisi swasta beberapa hari lalu yang membahas tentang rencana kenaikan tarif iuran BPJS juga menimbulkan pertanyaan di benak penulis. Ketika salah satu narasumber bertanya ke humas BPJS tentang berapa total biaya untuk menjalankan program JKN, tidak dapat dijawab dengan jelas. Akhirnya narasumber dari BPJS Watch yang sejatinya pihak diluar BPJS membantu menjawabnya.
BPJS perlu mengevaluasi karyawannya. Prinsip the right man in the right place seharusnya diterapkan. Bagaimanapun juga kompetensi dan background pendidikan menjadi poin penting. Namun, penulis juga pernah diundang rapat oleh pimpinan BPJS lainnya di daerah dimana beliau terlihat sangat expert. Orang-orang expert seperti ini yang seharusnya banyak dimiliki oleh BPJS.
Pemerintah jangan terburu-buru menaikkan iuran BPJS apalagi sampai dua kali lipat. Pebaikan sistem di BPJS sendiri lebih urgent untuk diprioritaskan. Saran dan kritik yang penulis sampaikan ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Walaupun begitu, enam saran dari penulis ini bisa menjadi pengingat. Tujuan utamanya adalah BPJS harus survive. BPJS sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Bukankah Universal Health Coverage adalah cita-cita bangsa kita sejak lama?